13 December 2016

Headshot ( 2016 ) : Cheesy Romance with a Mindless Violence

This review may contain minor-spoiler! 

Setelah membuat kisah tentang keluarga kanibal ( Rumah Dara ) dan jurnalis stres vs psikopat dari Jepang ( Killers ), rupanya Mo Brothers ( Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel ) ingin menjajal genre baru  di luar zona pilihan mereka selama ini. Mungkin karena terinspirasi kesuksesan The Raid & Berandal atau mungkin juga karena genre ini masih belum jauh-jauh amat dari apa yang menjadi kegemaran mereka : muncratan darah ama kekerasan ekstrim.  Ya, action. Lebih spesifik lagi, hardcore-action. Tentunya menarik buat tau sejauh mana duo sakit jiwa ini mampu bermain di area baru ini, terutama setelah standar di genre hardcore-action sudah di kerek begitu tinggi oleh Gareth Evans lewat The Raid & Berandal.  

Mo Brothers mengambil premis klasik tentang pria amnesia yang diburu orang-orang dari masa lalunya yang kelam. Semacam Jason Bourne meets Kill Bill lah. Mo's kemudian nambahin itu dengan drama-romansa sebagai bumbunya. Nah, bagian romansa ini selain dimaksudkan untuk meraih pasar yang lebih luas, menurut gue juga bisa jadi pemanis dari pahitnya kekerasan yang akan hadir nanti. 

Cheesy Romance


Sayangnya, relasi antara Ailin ( Chelsea Islan ) dengan Ishmael  ( Iko Uwais ) terasa kurang kuat. Selain karena pendekatannya yang terasa FTV-esque, maksud gue gimana seorang dokter cantik-muda bisa begitu mudah terlibat hubungan dengan seorang pria misterius yang ga jelas asal-usulnya? ( hey, tapi ini bisa aja kejadian kalo lu punya perut sixpack! ), juga karena proses hubungan ( dari relasi antara perawat-pasien sampe ke berpelukan-dibawah-payung-imut ) yang diceritakan berkembang terlalu cepat. Mo Bros bukannya ngga berusaha untuk membuat ini terasa manis, hanya saja effortnya terasa kurang maksimal ( atau tidak bekerja ) di sejumlah aspek. Imbas dari ini adalah datarnya emosi gue pas ngeliat adegan yang dimaksudkan untuk menjadi sentimentil-emosional. Tentu saja, ini sangat disayangkan kalo nginget Chelsea Islan sebenernya tampil cukup bagus disini ( terutama dibagian dia berlumuran darah hehe ). Pada naskah yang ditulis dengan lebih matang, drama-romansa bisa tetap menjadi bagian yang sama menariknya dengan kekerasan tingkat tinggi yang hadir dibagian lainnya, contohnya seperti yang udah ditunjukin dalam Near Dark atau True Romance




Tapi soal romansa ini sebenernya nggak terlalu jadi masalah, pun demikian dengan ceritanya yang tipis. Kita tau, di film model ginian, jelas adegan aksi lah yang menjadi menu utama. Kemudian, datanglah adegan didalam bus kota ini..


Mindless Violence


Jadi diceritain, orang-orang berbahaya dari masa lalu Ishmael menghadang sebuah bus untuk mencari dirinya. Apa yang gue liat kemudian cukup mengejutkan karena geng ini tanpa ba-bi-bu langsung memberondong sopirnya, dan lebih jauh bahkan ngebantai nyaris semua penumpangnya tanpa alasan.Iye bener, tanpa alasan. Hey, gue suka ngeliat pembantaian dalam sebuah film. Tapi, apa poin dari adegan ini? ngebantai penumpang bus yang tidak berbahaya, tidak mengancam dan tidak bersalah dengan senapan mesin cuma buat nyari satu orang yang dicurigai ada didalamnya? seriously? Itu jelas kekerasan tidak perlu yang membuat geng terorganisir ini malah terlihat berlebihan, bodoh dan ceroboh.  Dari sini gue langsung ngeh kalo kali ini ( tidak seperti 'Killers' yang gritty, dalam dan kompleks ) Mo Brothers cuma pengen ngasih kita banyak tumpahan darah, body-count masif serta brutal-violence tanpa nuntut penontonnya untuk terlalu banyak mikir. Ya, ini mengkonfirmasi apaan yang sedang gue tonton: sebuah fantasi bertabur mindless violence!. Tentunya di dunia fantasi ciptaan Mo's, hal-hal nonsens kaya diatas ( atau nyerbu penjara dan kantor polisi )  boleh aja terjadi. Nyadarin ini, gue yang saat itu sedang serius ngikutin jalan cerita/plot dan sebenarnya berharap mendapatkan sesuatu yang gritty, langsung meraup banyak popcorn dan ngejejelinnya kemulut. 

Pros

 


Bloody-action 


Abis itu, film terasa lebih renyah kaya popcorn yang gue kunyah. Nggak bergizi tapi tetep aja gue nggak  brenti mengkonsumsinya. 

Didukung tata suara keren garapan sound designer alumni Berandal ( Fajar Yuskemal & Ario Prayogi ) film berpindah dari satu adegan pertarungan brutal ke adegan pertarungan brutal lainnya dan ngasih banyak cipratan darah, tulang patah ama kepala pecah. Semua jenis senjata dilibatkan. Ketika peluru habis, segala macam benda tajam atau tumpul yang bisa diraih, dijadikan alat untuk dihantamkan ke tubuh lawan, tentu saja dengan koreografi pencak silat yang membuat Tai-chi, Krav Maga atau Systema menjadi terasa seperti seni  bela diri dari negeri Disney. Ya, Mo Brothers melakukan semua cara untuk memastikan penontonnya mengalami orgasme visual "ouch..shit..aaaahh..ouuucch.." dari display graphics nya. Dan meski gue kurang suka shaky-cam ama camera-movement nya yang kurang inovatif karena terlalu sering bergerak memutar 360 derajat mengelilingi adegan perkelahian, secara keseluruhan gue liat mereka cukup berhasil mengkreasikan adegan laga yang intense.  Liat aje, serombongan cewe usia belia yang duduk didepan gue nggak brenti-brentinya berteriak dan menjerit lalu tertawa puas seakan sedang naek roller-coaster sementara yang disebelah gue malah terlihat gelisah kaya mau muntah hehe. Gue? sial, popcorn abis. 

Dark-humor 


Mungkin bagian paling asik dari Headshot adalah ketika duo Mo seringkali menyisipkan humor-gelap disela-sela adegan gentingnya. Nah, kalo diinget-inget ini emang udah jadi semacam signature di film-filmnya Mo Brothers. Contohnya dalam Rumah Dara mereka memasukkan itu ( dark-humor ) dengan nge-cast Aming jadi tawanan polisi, sementara di 'Killers' yang gue inget adalah adegan 'bagasi mobil'. Dalam Headshot kalian akan nemuin ini lebih banyak lagi. Dari mulai parang nyangkut sampe adu tiup zippo hehe. Dark humor ini gue pikir selain berfungsi untuk mengingatkan audiens agar tidak terlalu serius, juga sebagai statement attitude 'tongue-in-cheek'  Mo Brothers yang sedikit banyak berhasil membuat Headshot terasa lebih fun dan menghibur. Gue pikir suatu saat mereka harus nyoba membuat horor-komedi semacam Tucker & Dale vs Evil hehe. 

Badass Characters 


Seperti dalam The Raid movies, Iko Uwais kembali harus berhadapan dengan banyak karakter komikal-badass dari mulai level bawah, menengah sampe ke level boss nya. Zack Lee dan David Hendrawan jelas mencuri perhatian, sementara Very Tri Yulisman sepertinya akan mudah gue lupain, dan Julie Estelle.. well, meski sudah berusaha, dia masih belum lepas dari karakter Hammer Girl, Lalu terakhir ada aktor asal Singapura, Sunny Pang yang ( jika merujuk pada novel 'Moby Dick' yang dibaca Ailin berperan seperti kapten Ahab, dan jika Iko Uwais adalah Ishmael, maka Ailin adalah..ikan paus? ), berhasil menghadirkan karakter bos kriminal ( Lee ) yang kharismatik sekaligus bengis tanpa kompromi. Sayangnya, ( meski tetap seru dan melibatkan jurus harimau ala Samo Hung ) adegan pertarungan finalnya gagal menyamai ke-epik an pertarungan Rama Vs Assasins

Cons 

 


Jujur, di film seperti ini gue nggak pernah terlalu berharap mendapat cerita yang hebat ( The Raid ama John Wick bahkan punya cerita yang lebih tipis dari ini dan gue tetep bisa nikmatinnya ), pun selalu bisa memaafkan bagian akting atau dialog yang kurang matang.  

Nah, dalam Headshot, Mo Brothers ( entah mungkin karena penyusunan scriptnya yang konon diselesaikan dalam waktu singkat atau ada sebab lain  ) gue pikir terlalu bersemangat membuat banyak aksi pertarungan brutal untuk menyenangkan hardcore-action aficionado ( terima kasih untuk ini ) namun sayang dengan narasi yang seperti dibiarkan terbengkalai. Padahal narasi ini penting untuk membuat penonton lebih terlibat secara emosi dengan setiap karakter dan konflik yang hadir. Akibatnya adalah, adegan laga yang udah dibuat dengan bagus itu terasa hanya tampil dipermukaan saja. Tiap hantamannya terasa kurang menghasilkan impact mendalam. Kurang membekas. Dan yang lebih disayangkan, premis klasik ini sebenarnya ngasih banyak peluang untuk dikembangkan, jika itu dilakukan, mungkin aja ini bisa seperti  'Kill Bill' ( yang punya premise similiar ) dimana semua adegan pertarungan dan karakter-karakter badassnya terasa memorabel dan bahkan masing-masingnya sangat layak jika dijadikan spin-off. 

Satu lagi, sinema aksi Indonesia ( dan mungkin juga dunia ) akan selamanya berada dalam bayang-bayang The Raid movies, artinya film martial art yang muncul berikutnya, harus rela di bandingkan dengan film garapan Gareth Evans itu. Dan entah ini berita buruk atau baik, The Raid udah nge-set standar yang demikian tinggi di genre ini. So, misalnya kalian berniat membuat sebuah film aksi laga, pastiin adegan tarungnya ( minimal ) mampu mendekati/menyamai, atau ( lebih bagus lagi ) mampu melampaui film itu. Misalnya itu dirasa berat, pastiin bagian cerita atau narasinya digarap dengan kuat. Misalnya itu ngga bisa juga, seengganya kasi sesuatu yang baru dan segar. Tanpa itu semua , gue khawatir kalo itu hanya akan menjadi sajian yang mudah dilupakan.

Overall, 


Untuk kasus Headshot, untungnya nggak sejelek itu. Meski punya beberapa kelemahan yang udah gue curahkan diatas, secara keseluruhan Headshot tampil cukup menghibur di beberapa bagian. 

Saran gue, tonton ini dengan ekspektasi mendapatkan hiburan romansa ringan bertabur mindless-violence, dan kemungkinan besar kalian akan mendapat tembakan tepat di kepala (headshot!). Karena emang cuma itu doang yang bisa didapetin disini. hehe 

Terakhir, sebagai fans duo Mo, gue masih tetap akan menantikan karya-karya mereka berikutnya dengan antusias. 

Jadi Mo, kapan The Night Comes For Us

No comments:

Post a Comment